Jakarta, NEODEMOKRASI.COM – Ombudsman Republik Indonesia (ORI)I menemukan 397 komisaris BUMN rangkap jabatan. Temuan ini berdasarkan data tahun lalu atau 2019.
Anggota Ombudsman Alamsyah Saragih menyebut, mayoritas atau sebanyak 254 orang (64 persen) berasal dari kementerian, sebanyak 112 orang (28 persen) dari lembaga non-kementerian dan akademisi 31 orang (8 persen).
Lebih rinci lagi, komisaris BUMN yang rangkap jabatan paling banyak berasal dari Kementerian BUMN 55, Kementerian Keuangan 42, Kementerian PUPR 17, Kementerian Perhubungan 17 orang, dan lain-lain.
“Dan Kementerian Keuangan adalah kementerian yang punya remunerasi tertinggi di Indonesia tapi banyak juga pejabatnya 42 rangkap jabatan dan rangkap penghasilan,” dalam teleconference, Minggu (28/6).
“Kami di Ombudsman jadi mulai meragukan remunerasi ini tinggi ini penting atau tidak untuk ASN kalau begini caranya,” sambungnya.
Selanjutnya, untuk non kementerian sebanyak 27 dari TNI, Polri 13, Kejaksaan 12, pemerintah daerah 11, BPK 4, dan lain-lain.
“Apakah kita masih berargumen bahwa kita adalah negara mampu menjaga etika di sini. Mungkin bapak dan ibu bisa berpikir ulang apakah betul sampai lembaga pengawas penegak hukum menjadi komisaris,” ujarnya.
“Ini berbahaya. Jika dibiarkan terus makin hari konflik kepentingan makin besar,” terang Alamsyah.
Praktik tersebut, kata Alamsyah, berlanjut hingga tahun 2020. Padahal hal tersebut bertentangan dengan sejumlah peraturan.
Antara lain Undang Undang nomor 25 tahun 2009 Pelayanan Publik. Pada pasal 17 huruf a UI tersebut disampaikan bahwa pelaksana pelayanan publik dilarang merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, BUMN, dan BUMD.
Menghadapi kondisi tersebut, ORI akan memberikan saran tertulis kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkaitan dengan masalah perekrutan jajaran komisaris pada BUMN.
“Paling lama 2 minggu ke depan akan memberikan saran tertulis kepada presiden,” ujar Alamsyah Saragih.
Tidak hanya rangkap jabatan, komisaris tersebut juga memiliki rangkap penghasilan. Padahal sebagian besar komisaris berada di BUMN yang tidak memberikan pendapatan signifikan bahkan merugi.
“Ombudsman memandang mendesak tidak lagi dilakukan penyampaian secara terbuka tetapi harus menyampaikan secara tertulis. Apakah dibutuhkan peraturan presiden agar tidak hanya peraturan menteri,” terang Alamsyah.
Sebelumnya isu serupa juga sempat disampaikan Ombudsman kepada Jokowi di periode pertamanya pada tahun 2017. Namun, masukan tersebut tak mendapat respons berupa tindakan hingga saat ini.
Ombdusman menggarisbawahi pola rekrutmen komisaris BUMN yang berpotensi memunculkan sejumlah masalah. Antara lain benturan regulasi, konflik kepentingan, penghasilan ganda, masalah kompetensi, jual beli pengaruh, proses yang diskriminatif, transparan penilaian, dan akuntabilitas kerja.(dan)