Multi tafsir dalam penerapan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dikhawatirkan dapat menciderai konstruksi penegakan hukum di Indonesia. Pada ujungnya dapat meruntuhkan indeks demokrasi Indonesia secara masif.
Lahirnya Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menkumham, Kepolisian, dan Kominfo, tentu tidak serta merta mampu mengurai benang kusut yang terlanjur melilit persepsi sebagian besar masyarakat kita. Sementara itu, munculnya sejumlah masalah dalam penafsiran UU ITE diduga akibat kurangnya literasi dan sosialisasi pasal-pasal esensial itu, sehingga semakin rumit dan membelit anatomi hukum di Indonesia.
Itulah pentingnya dibuat pedoman yang kuat sebagai terjemahan pasal-pasal krusial tersebut, sehingga tidak terjadi paradoks, kerumitan hukum dapat diatasi. Melalui SKB tersebut, diharapkan implementasi UU ITE dapat steril dari tafsir ilegal dan argumentasi yang dikutip dari konten-konten berbau hoaks. Baik pada tingkat penyidikan maupun penuntutan.
Kondisi sosial politik saat ini diibaratkan seperti api dalam sekam. Ditandai dengan terjadinya polarisasi ke dalam kelompok kelompok kepentingan tertentu. Serta sensitivitas publik dalam menanggapi kesemrawutan konten media, terutama media sosial. Hal ini ditengarai sebagai biang keladi kegaduhan yang terjadi selama ini.
Perhatikan saja, siapa mereka yang berperkara dan menggunakan senjata pasal pasal UU ITE. Belum lagi ditambah arus deras perkembangan teknologi yang berlangsung sangat cepat, dengan segala konsekuensinya. Sehingga harus direspon secara cepat pula oleh dunia hukum dan peradilan.
Salah satu solusinya adalah dengan merespon dan mengadaptasi setiap perubahan teknologi dalam aspek penyelenggaraan hukum. Sebab, tidak mungkin hukum tidak bersinggungan dengan aspek teknologi. Tentu saja beban berat ini bukan semata tanggung jawab Kominfo atau lembaga penegak hukum saja. Tetapi juga menjadi tugas kita semua. Termasuk tugas ilmu pengetahuan, untuk membuat terobosan baru, guna memecahkan kagaduhan penegakan hukum dalam kasus-kasus ITE, melalui pandangan, dan argumentasi scientific tentang implementasi pasal-pasal UU ITE tersebut.
Seperti diketahui, ada sejumlah pasal dalam UU ITE yang memiliki celah multitafsir, dan berpotensi memunculkan kegaduhan hukum. Selain itu, pasal-pasal tersebut juga dinilai dapat menciptakan ketakutan dan menghambat kebebasan orang untuk berekspresi, dan menyampaikan pikirannya.
Paling tidak, ada dua pasal yang selama ini menjadi perdebatan. Pertama, pasal 27 ayat 3 yang menyatakan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, membuat diaksesnya dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Kemudian, di pasal 28 ayat 2 yang menyebut bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu/kelompok berdasarkan SARA. Kalimat terakhir tersebut dianggap sebagai pasal plastik yang lentur dan multitafsir. Oleh karena itu, wajar jika ada desakan agar revisi UU ITE itu segera diapresiasi pemerintah.
Dengan melakukan revisi UU ITE, tidak hanya untuk mengubah pasal plastik yang sering menimbulkan multitafsir. Tetapi juga akan membangun konstruksi baru aturan yang lebih tangguh, untuk mengawal ruang digital Indonesia agar selalu bersih, sehat, beretika, dan produktif.
Kegaduhan yang terjadi selama ini muncul juga dikarenakan semakin banyaknya masyarakat yang terlalu sensitif. Begitu gampang saling melapor, karena melihat peluang hukumnya longgar dan terbuka. Lalu, imbasnya, proses hukum dianggap satu-satunya sandaran untuk mencari keadilan. Meski demikian, sebenarnya pada tahap awal, bisa saja para pihak menempuh jalan mediasi, untuk saling memahami, mencari titik temu, dan saling memaafkan.
Dalam catatan Amnesty International Indonesia (AII) sepanjang tahun 2021 lalu, terdapat 84 kasus pelanggaran berekspresi yang dijerat pasal-pasal UU ITE, dengan total 98 korban dipidanakan. Dari banyaknya jerat hukum yang berhubungan dengan UU ITE itu muncul kritik pedas bahwa aturan ini tidak boleh menjadi pisau bermata dua dan diskriminatif. Tajam kepada pengkritik atau lawan politik, tetapi tumpul kepada para pendukung pemerintah.
Dalam ruang demokrasi tak bisa penguasa tidak dapat menghilangkan kritik. Justru kritik itu menjadi check and balance yang amat diperlukan. Sehingga, keberadaan kelompok yang berseberangan diperlukan sebagai alat kontrol bagi tumbuh kembang demokrasi.
Masyarakat diharapkan tidak menggunakan UU ITE sebagai pisau tajam dalam mencari keadilan. Yang ujungnya justru menimbulkan rentetan panjang dan rasa ketidakadilan. Oleh karena itu, perlu diambil langkah-langkah agar ketentuan hukum itu dapat diterjemahkan dan diinterpretasikan dalam pasal-pasal yang kuat. Terutama pada pasal 27 ayat 3 dan pasal 28 ayat 2 yang juga sudah berkali-kali diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Saat ini yang diperlukan adalah pedoman interpretasi baku agar di dalam pelaksanaan UU ITE oleh aparat penegak hukum. Baik aparat penegak hukum di ruang fisik, dalam hal ini Kepolisian RI dan Kejaksaan, maupun di ruang digital oleh Kominfo dapat dilakukan dengan baik.
Permasalahan lain yang harus mendapat perhatian serius adalah, penerapan UU ITE dari sisi penegakan hukumnya. Baik pada tataran penyelidikan, penyidikan, maupun pada tahap penetapan putusan pengadilan. Aparat penegak hukum harus memiliki kebijaksanaan dalam menghadapi problematika hukum di lapangan. Khususnya peran hakim sebagai ujung tombak perwujudan keadilan melalui putusannya.
Referensi:
Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” Hakim bukanlah corong undang-undang, hakim adalah corong kepatutan, keadilan, kepentingan umum, dan ketertiban umum.
Dalam konteks inilah, perlu rumusan soal keharusan hakim memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Penjelasan pasal 5 ayat (1) tersebut menjelaskan ketentuan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Seperti yang pernah diucapkan oleh mantan Hakim Agung Bismar Siregar ,”Bila si hakim bersifat kaku dan mengutamakan penerapan kepastian hukum dari keadilan, langsung atau bukan, ia termasuk pemerkosa hukum yang berkeadilan”
Dalam hal ini para ahli hukum mengetahui bahwa undang-undang tidak akan pernah lengkap. Disitulah letak peran hakim untuk menyesuaikan peraturan undang-undang dengan kenyataan yang berlaku dalam masyarakat agar dapat mengambil keputusan hukum yang sungguh-sungguh adil sesuai tujuan hukum.
Meski begitu, dalam kasus UU ITE, jalan revisi harus ditempuh. Terutama dua pasal yang terus mengundang pro kontra itu. Tujuannya agar problem yang membentang di depan dapat diantisipasi dengan mengedepankan aspek perlindungan dan keadilan. Dengan demikian, materi revisi harus dipersiapkan dengan matang. Jangan sampai setelah melangkah maju pemerintah justru tanpa bahan yang komphrehensif.
Kominfo sendiri menilai, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ini sangat konstruktif dan strategis. Hal ini mengingat Indonesia saat ini sedang melakukan akselerasi transformasi digital, dimana pemanfaatan ruang digital akan semakin massif di semua lini. Sehingga dibutuhkan payung hukum yang betul-betul kuat dan legitimed.
Perlunya memperkuat posisi hukum dalam upaya pemanfaatan ruang digital untuk kemaslahatan rakyat. Tanpa mengganggu norma dan perilaku kehidupan dan interaksi sosial pada masyarakat yang saat ini sedang berupaya melawan konten-konten hoaks, hate speech, fitnah, dan ujaran kebencian.
Guna mendukung upaya lembaga yudikatif serta kementerian atau lembaga dalam membuat pedoman intepretasi resmi terhadap UU ITE, penting dilakukan upaya selektif dan verifikatif dalam implementasi penegakan hukum terkait UU ITE.
Ke depan harus dipikirkan adanya tafsir baru tentang upaya-upaya mediasi dalam jalur-jalur damai. Sehingga energi bangsa ini tidak terkuras untuk hal-hal yang kurang produktif. Kiranya perlu dilakukan program kegiatan literasi hukum, dan sosialisasi secara menyeluruh. Jangan sampai semua persoalan dimasukkan ke keranjang hukum.
Sebab, adagium hukum itu, begitu sebuah aturan diundangkan menjadi satu undang-undang, maka seluruh rakyat dianggap sudah mengerti, Nah, kuncinya pada bagaimana membuat masyarakat “melek hukum”, dan ini menjadi penting untuk dilakukan dengan melibatkan seluruh komponen bangsa termasuk aparat penegak hukum sendiri.
Poin pentingnya adalah adanya upaya mengedukasi publik agar memahami konten-konten didalam menginterpretasikan terhadap pasal-pasal yang dianggap kontroversial itu. Pasal yang dianggap multitafsir justru jangan dibenturkan dengan tafsir hukum lain yang dapat memengaruhi keyakinan dan cara pandang aparat penegak hukum. Tentu sembari menunggu saat diakukannya revisi UU tersebut.
Perlu pula kiranya dilakukan benchmarking terhadap negara-negara lain. Terutama menyangkut ketentuan-ketentuan yang terkait dengan hukuman badan dan kepidanaan. Sehingga UU ITE hidup dalam tatanan hukum di Indonesia secara berkuailtas dan bermartabat.(*)
*) Penulis adalah Analis Kebijakan Ahli Madya Komimfo