Lahirnya Peraturan Presiden No. 74 Tahun 2021 tentang Pemberdayaan Angkutan Laut Pelayaran Rakyat belum membawa perubahan signifikan terhadap keberadaan pelayaran rakyat (Pelra).
Regulasi turunannya seperti peraturan menteri perhubungan yang sudah dibahas selama dua tahun ini mandeg, entah apa sebabnya. Sementara seabrek permasalah lainnya yang dihadapi sehari hari membuat kondisinya semakin terpuruk.
Perpres No. 74 Tahun 2021 merupakan penguatan kebijakan pengembangan pelayaran rakyat untuk meningkatkan daya saing di era digital saat ini. Sehingga diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat (public trust) serta mampu bersaing dengan angkutan laut lainnya.
Tanpa ada percepatan pmplementasi Perpres No. 74 Tahun 2021 sulit bagi pelra untuk keluar dari permasalahan klasik yang selama ini dihadapi. Seperti keselamatan pelayaran, sertifikasi kepelautan, BBM, pendangkalan pelabuhan, stagnan dalam penambahan armada, serta kesulitan mengembalikan public trust ini.
Pelra adalah usaha jasa transportasi dagang yang menggunakan armada tradisional (kayu) dengan memakai alat penggerak (mesin dan layar) atau disebut perahu layar motor (PLM) dan kapal layar motor (KLM). Dalam Peraturan Pemerintah No 20 Tahun 2010 dan Permenhub No 93 Tahun 2013 tentang Pelra disebutkan, KLM mempunyai bobot sampai dengan 500 gross tonnage (GT) dan kapal motor (KM) berbobot 7 GT hingga 35 GT.
Pelra adalah subsistem angkutan laut nasional dan juga merupakan feeder pelayaran nasional dalam menjangkau perairan dangkal dengan kedalaman terbatas, wujud dalam menciptakan ketahanan dan pertahanan nasional. Peran ini sebenarnya diamanatkan dalam Undang Undang No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, pasal 15,16 dan 17. Pelayaran rakyat harus dibina terus menerus, diproteksi, dan dikembangkan sebagai usaha rakyat.
Peran strategis pelayaran rakyat dalam menunjang konektivitas perdagangan domestik serta memperlancar arus logistik ke daerah terpencil, terdepan dan tertinggal (3 T) sebetulnya sangat dibutuhkan. Hal ini sejalan dengan program nasional Tol Laut untuk memperkecil disparitas antardaerah produsen dan daerah konsumen serta mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.
Sungguh mengenaskan di tengah gencarnya pemerintah mempromosikan program Tol Laut dalam visi Poros Maritim yang dideklarasikan dalam Nawacita Kabinet Kerja Presiden Jokowi, pelra hanya menjadi penonton. Sementara kelalaian keselamatan penumpang kapal menjadi momok dan terabaikan. Sejumlah kecelakaan kapal motor yang terjadi adalah kegagalan pemerintah dalam memajukan pelra sebagai bagian dari subsistem angkutan laut nasional (UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran).
PM 93 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut, pasal 55.2.e.5, tiap kapal pelayaran rakyat mendapatkan BBM bersubsidi sesuai kebutuhan opersional. Pelayanannya belum optimal dan merata.
Sebagian besar kapal pelra belum mendapatkan layanan BBM bersubsidi. Data eksisting 426 kapal pelra yang menerima manfaat BBM bersubsidi di 10 titik serah. Hal ini masih jauh dari layanan maksimal terdapat 80 titik sentra belum terlayani.
Faktor keselamatan memang menjadi kendala utama bagi armada pelra. Banyak pemicunya. Antara lain, tidak semua kru kapal mengantongi sertifikat Basic Safety Training (BST) yang wajib dimiliki ABK. Mulai tapusere atau penarik layar, pakolong juru masak, mualim, hingga nakhoda atau juru mudi.
Armada pelra yang jumlah awalnya ribuan kapal, saat ini hanya sekitar 800 saja yang aktif. Apa hendak dikata. Memang diragukan keselamatannya karena tidak memperoleh jaminan dari lembaga klasifikasi.
Sementara itu, industri asuransi juga enggan menjamin pelra. Ribuan awak kapalnya, walaupun sarat pengalaman melaut, umumnya tidak memiliki sertifikat dasar keselamatan. Mereka tidak bisa mengikuti Basic Safety Training karena terkendala pendidikan yang rata-rata hanya lulus sekolah dasar itu. Aturan menyebutkan minimal harus mempunyai ijazah SMP dan sederajat.
Pemerintah rasanya tidak pernah hadir untuk mencari solusi dan memfasilitasi permasalahan tersebut. Juga tidak ada regulasi permanen yang mendukung pengoperasian pelra yang sudah kesulitan bahan baku kayu itu. Permasalahan lain adalah modal terbatas karena minimnya akses untuk memperoleh fasilitas pinjaman bank.
Anak Tiri
Melihat kelengkapan keselamatan armada plra pada umumnya, terlalu jauh rasanya jika kita berbicara konvensi internasional untuk keselamatan di laut atau Safety of Life at Sea (SOLAS), ketentuan keselamatan pelayaran sesuai aturan hukum pelayaran internasional (IMO), yang mutlak harus diberlakukan pada semua armada.
Jadi, jangan heran jika armada pelra minim kelengkapan sekoci maupun jaket pelampung sebagai sarana utama keselamatan pelayaran. Kalaupun toh ada, sekadar untuk menyiasati aturan.
Kondisi pelayaran rakyat secara umum bagai hidup segan mati tak mau. Perannya yang penting dalam perdagangan antarpulau mengalami degradasi di tengah gempita program Tol Laut. Pamornya kalah oleh kapal modern maupun kapal perintis lainnya. Meski lahir lebih dahulu, boleh dikata armada pelra diperlakukan ibarat anak tiri dibandingkan dengan kapal generasi berikutnya .
Bahkan, fasilitasnya boleh dikata minim sekali. Berbeda misalnya dengan bantuan kapal nelayan yang setiap tahun digerojok atau dibangunkan pelabuhan khusus perikanan yang dilengkapi fasilitas tempat pelelangan ikan atau cold storage.
Sementara itu, industri pelra lamban menyikapi perubahan tersebut. Salah satu opsi pengembangan pelayaran rakyat adalah mendukung pariwisata sebagai sektor yang tumbuh pesat dengan kontribusi ekonomi dan lapangan kerja yang semakin besar.
Keselamatan armada pelra yang mengandalkan kapal kayu diragukan karena tidak memperoleh jaminan dari lembaga klasifikasi. Industri asuransi juga enggan menjamin angkutan pelra. Jumlah fasilitas docking kapal kayu pun bisa dihitung jari. Umumnya kapal rakyat diperbaiki di Pati, Jateng; Pasuruan dan Probolinggo, Jatim; atau Pasir Mayang, Kaltim, dengan fasilitas minim dan tradisional.
Industri pelra yang menyediakan kapal-kapal rakyat membutuhkan modernisasi agar memenuhi standar keamanan dan keselamatan. Hambatan perizinan pada industri galangan kapal kayu perlu segera dicarikan solusinya.
Tidak mudah memang merealisasikan docking kapal khusus armada pelra. Contoh, Pemprov Jatim sudah menerbitkan Pergub No 31 Tahun 2016 tentang Rencana Aksi Pembangunan Kelautan Jatim. Salah satu diktumnya memfasilitasi docking kapal kayu yang representatif. Namun, realisasinya belum tampak.(*)
Oleh: Oki Lukito
Ketua Forum Masyarakat Keluatan, Maritim, Perikanan dan Dewan Pakar PWI Jawa Timut