Surabaya. NEODEMOKRASI. COM. Pengamat transportasi Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Dr. Ir. Dadang Supriyatno, MT.,IPU.,ASEAN Eng memberikan analisisnya terkait debat pamungkas Pilgub Jatim 2024.
Dadang membeberkan apa yang disampaikan Paslon Gubernur-Wagub Jatim nomor urut 2, Khofifah Indar Parawansa-Emil Elestianto Dardak sangat relevan di era ini.
“Semua paslon memegang konsep, jadi saya kalau lihat paslon Khofifah-Emil punya konsep yang bagus seperti Surabaya Regional Railway Line (SRRL) dan sustainable urban mobility plan (SUMP),” kata Dadang saat dikonfirmasi, Selasa (19/11/2024).
“Kalau Khofifah-Emil terkait SRRL untuk pengembangan angkutan perkotaannya, kemudian SUMP untuk angkutan regionalnya. Jadi memang harus begitu untuk menghubungkan kawasan Gerbangkertasuslia itu perlu ada keterpaduan moda yakni antar moda dan multi moda,” tambah Dadang.
Dadang menyebut konsep SRRL dan SUMP yang digagas Khofifah-Emil sangat baik. Konsep ini membuat transportasi umum terkoneksi dengan baik.
“Konsep SRRL dan SUMP ini tertuang dalam perencanaan master plan provinsi. Konsep itu berkelanjutan sampai detik ini, maka ada bantuan dari Jerman untuk pengembangan angkutan perkotaan yang berbasis rel atau moda jalan seperti MRT, kemudian ada kereta-kereta api perkotaan semacam komuter yang dibangun di wilayah perkoataan. Jadi konsep yang dibangun provinsi sudah dituangkan dalam Dokumen SUMP untuk kereta api regional dan kereta api perkotaan di dalam SRRL,” bebernya.
“Paslon nomor dua ini memang faktanya konsepnya sudah terakomodir dengan baik, jadi akhirnya konsep itu dituangkan dalam dokumen dan ada bantuan dari pihak luar melalui Bappenas dan masuk ke Jatim lalu muncullah SUMP dan SRRL untuk angkutan perkotaan dan luar kotanya,” tambahnya.
Sementara paslon nomor urut 1 Luluk Nur Hamidah-Lukmanul Khakim (LUMAN) dan paslon nomor urut 3 Risma-Gus Hans, kata Dadang juga punya konsep bagus. Hanya saja, konsep yang dibawa kedua paslon itu tidak matang atau lebih banyak teknisnya seharusnya dilakukan oleh pemkab/pemkot.
“Untuk paslon Risma-Gus Hans dan LUMAN punya konsep tentang penataan transportasi perkotaan di daerah sebagai penghubung daerah perbatasan dan memadukan moda-moda di daerah pinggiran atau bahasa besarnya membangun daerah pinggiran. Di daerah-daerah pinggir perkotaan di Jatim kan perlu dibangun, maka modanya juga harus dibangun,” jelasnya.
“Untuk paslon lain bagus, hanya mengembangkan transportasi angkutan daerah seperti feeder ini sebenarnya amanah dari pemkab atau pemkot. Ketika ada program pusat yang masuk di provinsi maka kabupaten/kota juga harus ikut membangun angkutan penghubungnya baik itu angkutan feedernya dan sub feedernya,” lanjutnya.
“Provinsi harus punya master plan, kalau berbicara feeder di pelosok-pelosok daerah itu ranahnya kabupaten/kota. Terkadang, kelemahan kita master plan di kabupaten/kota tidak diupdate. Jadi artinya begitu ada program seperti SRRL dan SUMP, pemerintah kabupaten atau kota di Jatim kelabakan,” tambahnya.
Dadang menyebut jika provinsi sudah memiliki program yang bagus seperti yang digagas Khofifah-Emil, maka kabupaten/kota harus siap melengkapi transportasi umum di wilayahnya masing-masing.
“Pengembangan angkutan umum massal perkotaan yang berbasikan jalan dan rel ini sangat penting untuk bisa dikembangkan di Jatim. Apalagi sebentar lagi kereta cepat jalan di 2025 antara Jakarta dan s
Surabaya. Maka daerah-daerah yang terlewati itu harus siap, karena amanah undang-undang (UU) itu kan sudah jelas, di Pasal 518 ayat 1 berbunyi Pemda wajib membangun angkutan perkotaannya,” bebernya.
“Jadi angkutan perkotaannya konsepnya tidak harus massal, tapi dengan memanfaatkan angkutan eksisting diperdayakan seperti membentuk feeder menyambungkan ke angkutan massal yang sudah digagas pemprov atau pusat. Angkutan umum harus utuh, nyambung, tidak boleh terpotong. Harus ada keberlanjutan, makannya ada konsep sustainable transportation dan itu sudah digagas oleh Khofifah-Emil,” tambahnya.
*Dadang Apresiasi Program Bus Trans Jatim di era Khofifah-Emil*
Dadang juga mengapresiasi adanya Bus Trans Jatim di era Khofifah-Emil. Menurut Dadang, konsep buy the service (BTS) Bus Trans Jatim membuat minat masyarakat di Jatim untuk naik transportasi umum meningkat.
“Konsep BTS Bus Trans Jatim ini bagus. Jadi konsep seperti Bus Trans Jatim itu masyarakat harus memanfaatkan layanan yang sudah dibeli pemerintah atau BTS. Harus dinikmati masyarakat itu, dan perlu digaris bawahi bahwa transportasi seperti Bus Trans Jatim, MRT itu bukan pemerintah mau mencari untung, justru masyarakat harus menikmati layanan yang sudah dibayar masyarakat,” bebernya.
Dadang pun heran dengan paslon nomor 3 yang menganggap Bus Trans Jatim sebagai proyek pemerintah mencari untung.
“Saya kira paslon nomor 3 belum tahu konsep layanan yang dibeli oleh pemprov. Dan masyarakat seharusnya bisa menikmati layanan yang sudah dibeli pemerintah, konsep itu tidak dikuasai (oleh paslon lain). Seperti BRT, MRT itu bukan mencari keuntungan,” tegasnya.
“Pemahaman terkait buy the service belum lengkap sehingga ada friksi terhadap paslon 3 ke paslon 2. Padahal kita tahu rataan tarif Bus Trans Jatim itu di bawah rata-rata. Ini kan keberhasilan pemerintah mewujudkan angkutan umum yang bisa dinikmati oleh masyarakat kecil. Ya memang ada beberapa pemasukan-pemasukan yang di luar konteks tarif seperti iklan, itu memang nanti menambal dari biaya-biaya yang belum tercover. Dan itu sudah dilakukan Pemprov Jatim di bawah Khofifah-Emil,” tambahnya.
*Terowongan Trenggalek ke Tulungagung Perlu Kajian Lebih Mendalam*
Dosen Prodi Teknik Rekayasa Transportasi, Fakultas Vokasi Unesa ini menyebut konsep itu bagus, tapi perlu kajian lebih dalam. Jangan sampai, konsep itu jadi lip service belaka.
“Kalau kemarin ada di dalam programnya Dishub Trenggalek. Jadi itu jembatan atau terowongan yang menghubungkan Tulungagung ke Trenggalek dengan paduan destinasi seolah-olah nanti ada beberapa spot destinasi seperti di Bqdungan sampai ke Prigi itu nanti dihubungkan. Saya belum bisa menjawab apa itu rasional atau tidak, karena di situ daerah pesisir, daerah laut apakah itu memungkinkan kalau kita membuat terowongan yang berbasiskan muka air laut. Harus diukur sampai sejauh mana apakah ada penurunan muka air laut,” bebernya.
“Konsep boleh-boleh saja, tapi perlu ada penelitian lebih apakah bisa diwujudkan? Karena saya contohkan di Surabaya dulu itu mau dibuat subway, tapi gagal terealisasi karena kendalanya Surabaya sudah termasuk muka air tanahnya tinggi sehingga konsep itu tidak jadi. Jadi konsep subway di Surabaya itu saya analogikan yang di Trenggalek dan Tulungagung. Konsep boleh, tapi harus ada penelitian secara intens,” tandasnya.(*)