Oleh: Oki Lukito
Ketua Forum Masyarakat Kelautan, Maritim, Perikanan, dan anggota Dewan Pakar PWI Jawa Timur
Kecelakaan laut kembali terjadi satu unit kapal jenis fiber berpenumpang empat orang beserta dua awak kapal tenggelam di perairan Laut Mansalean, di Desa Mansalean, Kecamatan Labobo, Kabupaten Banggai Laut, Sulawesi Tengah, Jumat malam (29/9) lalu.
Seluruh penumpang selamat dan berhasil dievakuasi. Laka laut di perairan Masalean tersebut adalah yang keempat kalinya terjadi selama bulan September.
Sebelumnya laka laut nahas lainnya meminta korban jiwa yang menimpa kapal payang bernama lambung Timbul Tiga tenggelam di Laut Teluk Semaka, Cukuh Balak, Tanggamus, Jumat (23/9) . Kapal berpenumpang 19 orang tenggelam dan menewaskan penumpangnya di Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara, kecelakaan tersebut terjadi pada Minggu (3/9), sekira pukul 19.24 WITA. Kapal dikabarkan tenggelam di Perairan Bokori, Kabupaten Konawe.
Pada bulan Agustus, KM Dewi Indah Noor 1 mengalami kecelakaan dan tenggelam Sabtu (19/9), pukul 03.30 WIB di Perairan Kepulauan Seribu dalam perjalanan dari Pantai Mutiara menuju Pulau Sepa. Kapal ini berlayar membawa 7 ABK, muatan besi sebanyak 150 batang, batu split 1.000 karung, dan semen sebanyak 360 zak. Kecelakaan tersebut terjadi di Timur Pulau Untung Jawa dan Pulau Pari.
Insiden di perairan terjadi pula selama bulan Juli. Di Buton Tengah, Sulawesi Tenggara, 15 orang meninggal saat rakit penyeberangan yang ditumpangi tenggelam di perairan Teluk Mawasangka Tengah, Senin (24/7). Sebanyak 33 penumpang lain selamat. Rakit yang menjadi andalan penyeberangan warga tersebut idealnya ditumpangi 15-20 orang sekali penyeberangan. Saat insiden terjadi, penumpang mencapai 48 orang.
Dengan maraknya Laka Laut pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan (kemenhub) perlu instropeksi dengan meninjau ulang regulasi yang rentan akan keselamatan pelayaran.
Sejumlah kejadian di perairan yang menelan korban selama dua bulan terakhir ini menjadi sinyal adanya masalah besar. Keselamatan transportasi laut diabaikan disamping dipicu pula oleh perubahan iklim, jika tidak ingin korban jiwa terus berjatuhan karena aturan main yang serampangan.
SPB Ambigu
Selain faktor iklim dan human eror penyebab laka laut ini, Kemenhub perlu mengkaji ulang aturan main soal penerbitan Surat Pemberitahuan Berlayar (SPB) oleh Balai Pengelola Transportasi Darat (BPTD) yang sebelumnya diterbitkan oleh Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan (KSOP).
Sebagai catatan sejak tahun 2016 Kemenhub telah membentuk Balai Pengelola Transportasi Darat (BPTD) di bawah Direktorat Jenderal Perhubungan Darat. Saat ini sudah terbentuk di 33 provinsi .
Tugas BPTD antara lain, selain urusan transportasi darat juga diberi kewenangan urusan laut, yaitu menerbitkan Surat Perintah Berlayar (SPB) di pelabuhan sungai, danau, penyeberangan serta mengendalikan keselamatan sarana dan angkutan jalan, keselamatan dan keamanan pelayaran sungai, danau dan penyeberangan. Serta melaksanakan kegiatan keperintisan. BPTD juga berwenang melakukan pengawasan kegiatan lalu lintas dan angkutan jalan, sungai, danau, dan penyeberangan.
Pembentukan 33 BPTD dari yang semula 25 BPTD berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 5 Tahun 2023 tentang Kriteria Klasifikasi Organisasi Balai Pengelola Transportasi Darat dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 6 Tahun 2023 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pengelola Transportasi Darat. BPTD merupakan perpanjangan tangan Ditjen Perhubungan Darat di daerah dalam menjalankan tugas pokok mengelola Terminal Tipe A, jembatan timbang, dan pelabuhan penyeberangan.
Pasca kecelakaan Kapal Motor Penumpang (KMP) Yunice terhitung 14 Oktober 2021 lalu, kewenangan penerbitan Surat Pemberitahuan Berlayar (SPB) kapal penyeberangan di Pelabuhan Ketapang dikembalikan ke Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Tanjungwangi, Banyuwangi.
Sebelumnya, wewenang penerbitan SPB ini sempat diberikan kepada Satuan Pelayanan Balai Pengelola Transportasi Darat (Satpel BPTD) Pelabuhan Ketapang pada 6 Juni 2021. Seperti diketahui KMP Yunicee tenggelam di Selat Bali, tepatnya di kawasan perairan Gilimanuk, Kabupaten Jembrana, Bali. Dari 39 korban dalam kecelakaan itu 7 penumpangnya tewas.
Pengembalian wewenang penerbitan SPB kepada KSOP Tanjungwangi ini diduga berkaitan dengan musibah tenggelamnya KMP Yunicee yang terjadi beberapa waktu lalu. Instruksi Menteri Perhubungan Nomor 8 Tahun 2021 menjadi tamparan bahwa ada sesuatu yang keliru dengan otoritas pembuat SPB.
Sementara itu, BPTD XI Jatim berdasar Lampiran Peraturan Menteri Perhubungan No.P.M. 20 Thn.2018 tentang Perubahan atas P.M. No.154 Thn.2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja BPTD melayani pelabuhan sungai, danau, dan penyeberangan sebanyak 11. Yaitu Jangkar, Kalianget, Kangean, Bawean, Sepudi, Sepekan, Pulau Raas, Paciran, Ketapang, Ujung, Kamal dan 20 Unit Penyelenggara Penimbangan Kendaraan Bermotor serta 21 Terminal Tipe A.
Tumpang tindih penerbitan SPB di Pelabuhan Gresik ke Pulau Bawean khusus kapal cepat diterbitkan oleh BPTD XI. Padahal Pelabuhan Gresik bukanlah pelabuhan penyeberangan. Sebaliknya, dari Bawean ke Gresik SPB diterbitkan oleh Syahbandar Bawean. Sementara SPB kapal cepat penumpang dari Pelabuhan Paciran ke Bawean yang sudah mengantongi izin trayek dan akan beroperasi bulan Oktober ini, konon bakal diterbitkan Syahbandar Lamongan.(*)