Neo-Demokrasi
Ekbis

Jadikan Komoditas Kopi Raja di Negeri Sendiri

Anggota DPRD Jatim Agus Dono Warsito.

Surabaya, NEODEMOKRASI.COM – Pengelolaan komoditas kopi akan terus berbenah. Jatim yang menjadi  provinsi penghasil kopi terbesar ketiga nasional setelah Palembang dan Lampung. mengalami tren peningkatan kapasitas produksinya. Palembang yang selama ini mampu menghasilkan 25  persen dari total produksi kopi nasional atau sebesar 184.168 ton pada 2018. Total produksi kopi nasional kita mencapai 722.461 ton (2018).

Sementara kapasitas produksi Lampung mencapai 106.746 ton. Jatim memiliki 9 daerah atau kabupaten penghasl kopi tertinggi. Yakni, tiga kabupaten penghasil kopi terbesar, yakni Banyuwangi (13.839 ton), Jember (11.863 ton) dan Malang (11.829 ton). Dan 6 kabupaten lainnya, yakni   Blitar, Kediri,  Lumajang,  Bondowoso, Situbondo, dan Probolinggo.

Berdasarkan data Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, kapasaitas ekspor kopi Indonesia mencapai 467.790 ton dengan nilai US$ 1,19 miliar atau setara Rp 16 triliun.

Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur Ir Karyadi juga menegaskan, potensi ekspor kopi Jatim cukup besar  dengan rata rata ekspor komoditas  ke  Jepang, Amerika dan Eropa mencapai  antara 70.000-75.000 ton/tahun. Prospek kopi sangat strategis. Sehingga Mentan Syahrul Yasin Limpo mencanangkan peningkatan ekspor kopi hingga 3 kali lipatnya

Berbagai upaya dan terobosan diimplementasikan untuk meningkatkan produksi kopi. Salah satunya, dalam teknologi pengolahan paskca panen. Juga menambahan dan perluasan area tanam perkebunan kopi di wilayah Jatim mencapai 1200 hekyare untuk kopi jenis Arabika untuk tahun ini.  Untuk Malang saat ini memiliki  100 ribu hektare areal kopi  jenis Robusta. Dengan  produktivitas sebesar 800 kilogram/hektare.

Selain meningkatnya kapasitas ekspor sebagai akibat naiknya permintaan produk kopi dunia,  penyuka kopi juga semakin dimanjakan dengan hadirnya produk kopi yang saat ini hadir dalam berbagai varian dan kemasan.

Menggeliatnya kafe, resto, juga tren naiknya usaha warung kopi di kalangan generasi muda juga ikut menstimulasi naiknya konsumsi kopi di tanah air.

Gabungan Eksportir Kopi Indonesia (Gaeki) Jatim menyebut tren ekspor kopi Jatim di kuartal III tahun ini bisa mencapai 24.715 ton dan peningkatan ikapasitas ekpor kopi di kuartal IV.

Berdasarkan data Gaeki Jatim, ekspor kopi Jatim pada kuartal I 2020 mencapai 15.192 ton atau US$33,5 juta. J umlah itu naik 6 persen jika dibandingkan kuartal yang sama 2019 yang mampu mencapai 14.373 ton.

Sementara pada kuartal II 2020 tercatat mencapai 12.780 ton ton atau US$25,1 juta meningkat tipis 1 persen dibandingkan kuartal II 2019 yang mencapai 12.695 ton. Sedangkan pada kuartal III 2020 mencapai 15.871 ton atau US$36,2 juta ton. Jumlah tersebut anjlok 14 persen dibandingkan periode sama tahun lalu yang mencapai 18.455 ton atau US$39,9 juta.

Secara kumulatif periode Januari- September 2020, total ekspor kopi kita mencapai 43.843 ton atau US$94,8 juta. Kemampuan Indonesia dalam menghaslkan kopi kelas dunia ini juga faktor yang menjadikan kopi tetap menjadi salah satu komoditas pasar yang masih menjadi primadona hingga hari ini.

Varian kopi terbaik kelas dunia banyak dihasllkan dari perkebunan di wilayah Kabupaten Malang, Jawa Timur, Kopi Taji dari perkebunan kopi di lereng Gunung Bromo, menjadi salah satu kopi yang paling diperhitungkan di dunia. Hal ini didikasikan dengan jumlah permintaan yang terus naik tiap tahunnya.

Benarkah tingginya permintaan dunia atas komoditas kopi ini sebanding dengan peningkatan kesejahteraan petani kopi itu sendiri?

Menurut Agus Dono Warsito , mantan anggota Komisi B, yang sekarang di Komisi C DPRD Jatim mengatakan, masalah utama perkopian nasional masih berkutat dan didominasi pemain di hilir, yakni para pemilik modal atau pabrikan. Sementara para petani kopi yang di hulu yang menggarap lahan milik Perhutani terjerat dengan harga bibit, bahan baku, dan harga pupuk yang mahal dari pihak ketiga.

Ketidakberdayaan modal membuat mereka tergantung dan terikat perjanjian di bawah tangan dengan pihak pengijon atau pemilik modal besar. Endingnya, hasil panen dikuasai dan ditentukan oleh pemodal.

Maka, kehadiran pemerintah sangat vital, turun tangan tidak hanya membuat regulasi yang melindungi petani kopi tetapi juga stimulan dana atau modal agar mereka bisa leluasa mengelola hasil panennya . Mereka juga urgent bantuan alat pengering atau pengupas biji kopi. Yang tak kalah penting, ada resi gudang atau lembaga penyangga stabilisator harga.

“Di hilir, meskipun banyak UMKM bergerak di sektor produksi bubuk kopi, nyatanya sulit berkembang. Kendalanya, tidak adanya regulasi atau aturan pemerimtah yang mengikat terkait pengembangan market kopi,” jelas politisi senior Partai Demokrat dari Dapil Malang

Misalnya, lanjutnya, MoU yang mengikat dan mengharuskan supermarket, minimarket menampung proses pemasarannya. Juga sosialisasi meningkatkan nasionalisme dengan imbauan lebih mencintai atau mengonsumsi produk negeri sendirii.

“Kalau kopi diminati dan dihargai di negeri sendiri, saya yakin, petani tidak akan jual gelondongan, dan perlahan kopi akan menjadi raja di negeri sendiri,” pungkasnya.(nor/dan)

Related posts

Kini, Bayar PBB Surabaya Bisa lewat Tokopedia

Rizki

Optimalisasi Pipa Blok Rokan akan Perkuat Kinerja Pertagas

Rizki

Gudang SRG akan Jadi Peluang Usaha Baru

Rizki