Sidoarjo, NEODEMOKRASI.COM – Corona berpotensi merebak di Desa Wage, Taman. Sebab, kawasan itu merupakan salah satu pusat urban di Sidoarjo. Namun, hingga kini prediksi itu tak terbukti. Virus yang berasal dari Cina justru melandai.
Dari data Gugus Tugas Percepatan Penanganan covid-19, dulu Wage sempat nangkring pada urutan pertama penyebaran Corona di Taman. Semakin banyak warga yang terpapar. Namun, kini posisinya digantikan oleh Kelurahan Wonocolo.
Jumlah warga Wage yang terinfeksi Corona mencapai 40 orang. Lebih rendah dibandingkan Kelurahan Wonocolo yang totalnya 45 pasien positif. Lewat bukti data tersebut, Wage dianggap mampu meredam Corona.
Capaian itu, menarik perhatian Badan Koordinasi Antar Gereja-Lembaga Keagamaan Kristen Indonesia (Bamag-LKKI). Selama dua minggu, organisasi tersebut turun ke Desa Wage. Menelaah upaya desa membendung Corona.
Hasil telaah Bamag-LKKI itu disampaikan di balai Desa Wage, Rabu (8/7). Ketua Bamag-LKKI Agus Susanto menjelaskan Wage sengaja dipilih. Sebab, dari kajian sementara wilayah tersebut memiliki potensi besar menjadi episentrum Corona. “Corona bisa meledak di Wage,” terangnya.
Telaah sementara itu berdasarkan pemantauan wilayah. Wage merupakan desa urban. Ini terlihat dari komposisi penduduknya. Persentasenya 90 persen pendatang, sedangkan sisanya warga asli. Selain itu, Wage juga terdapat dua pabrik besar. Yaitu PT Maspion dan PT Ispat Indo. “Tentunya banyak rumah kontrakan serta kos,” jelasnya.
Tak hanya itu, warga Wage juga banyak yang bekerja di luar kota. Salah satunya Surabaya. Potensi lain, di Wage terdapat kuliner, pasar, serta pusat keramaian. “Penduduknya sangat padat mencapai 23 ribu jiwa,” terangnya.
Namun, Wage ternyata mampu mengendalikan Corona. Kunci keberhasilan terletak pada pemetaan wilayah. Agus menyebutnya tracing lingkungan.
Di Wage, pihak desa memetakan geografis. RT-RW dipelototi. Dari total 16 RW, desa melakukan pemilahan. Sebanyak 10 RW merupakan wilayah perumahan. Sedangkan 6 RW lain perkampungan.
Data lebih didetilkan lagi. Desa memilah warga berdasarkan jenis profesi, serta berdasarkan usia. “Sehingga tahu warga lansia yang berpotensi terpapar Corona,” ucap Agus.
Nah, dengan tracing lingkungan, penanganan Corona berjalan cepat. Langkah preventif berjalan. Warga yang dinyatakan reaktif langsung menjalani isolasi mandiri. Pihak desa langsung menemukan warga tersebut sering beraktivitas dan kontak dengan siapa saja.
Menurut Agus, tracing wilayah sebenarnya berkebalikan dengan langkah pemerintah. Sesuai aturan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) jika menemukan pasien Covid-19, langkah selanjutnya uji swab (uji usap). Baru menangani lingkungan. Kelemahannya deteksi warga yang terpapar lambat.
Berbeda dengan cara di Desa Wage. Sebelum adanya kasus Corona, wilayah dipetakan. Kawasan mana yang berpotensi terpapar Corona. Setelah itu, langkah preventif berjalan. Seperti penyemprotan disinfektan hingga membentuk kampung tangguh.
Agus mengatakan, metode yang digunakan Desa Wage bisa menjadi percontohan nasional. Dengan tracing lingkungan, desa semakin cepat menekan laju Corona. “Karena preventif yang diutamakan,” terangnya.
Sementara itu, Kades Wage Bambang Heri Setiono mengatakan, sebelum tracing wilayah dijalankan, kasus Corona terus melonjak. Bahkan sempat menempati urutan pertama di Taman. “Karena padat penduduk serta diapit wilayah industri,” ucapnya.
Pihak desa lantas menjalankan tracing wilayah. Seluruh kawasan yang berpotensi terpapar Corona dipetakan. Selain itu, Bambang juga tegas. Menindak warkop yang tak patuh aturan. “Jam 22.00 WIB tutup, ya harus tutup. Kalau bandel kami obrak,” pungkasnya.(dan)