Neo-Demokrasi
Umum

Bantu Potensi Desa, ITS Ciptakan Mesin Pencacah Bonggol Jagung

Demonstrasi mesin pencacah bonggol jagung karya tim Abmas dan KKN ITS.

Gresik, NEODEMOKRASI.COM – Melimpahnya hasil panen jagung di Desa Bolo, Gresik yang merupakan komoditas utama di desa tersebut, menyisakan bonggol jagung sebagai limbah yang cukup banyak dan belum termanfaatkan oleh warga desa. Melihat hal tersebut, tim pengabdian masyarakat (Abmas) dan kuliah kerja nyata (KKN) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menciptakan mesin pencacah untuk memanfaatkan limbah bonggol jagung menjadi pakan ternak dan bahan baku briket.

Bonggol jagung merupakan bagian tempat menempelnya biji-biji  jagung. Bagian ini sering dianggap tidak memiliki manfaat sehingga kebanyakan petani jagung membuangnya. Hal ini juga terjadi pada di Desa Bolo, Kecamatan Ujung Pangkah, Kabupaten Gresik, yang dikenal sebagai juara satu penghasil jagung di daerah bagian utara 15 tahun terakhir. Produk jagung dari Desa Bolo, dijual dalam bentuk biji jagung sampai ke berbagai kota, sehingga hanya menyisakan bagian bonggolnya saja.

Menurut ketua tim Dr Wiwiek Hendrowati ST MT, tiap musim panen di Desa Bolo, bonggol jagung yang dihasilkan kebanyakan hanya dibuang di sebuah lahan. Hanya sedikit dari bonggol jagung itu yang dimanfaatkan untuk kegiatan pengasapan ikan di sana. Namun sisanya yang masih sangat banyak hanya dibuang begitu saja hingga berjamur.

“Padahal (bonggol jagung) masih bisa dimanfaatkan dan memiliki nilai ekonomis,” ungkap dosen Departemen Teknik Mesin ITS ini, Jumat (30/10).

Wiwiek menyebutkan bahwa bonggol jagung tersebut bisa dimanfaatkan menjadi bahan pakan ternak, terlebih di Desa Bolo juga terdapat peternakan. Selain itu, menurutnya, bonggol jagung juga bisa dimanfaatkan menjadi briket yang digunakan untuk bahan bakar.

Kedua alternatif pemanfaatan bonggol jagung tersebut memerlukan mesin pencacah untuk membantu menghaluskan bonggol jagung menjadi serpihan-serpihan. Oleh karena itu, tim Abmas dan KKN ITS ini menciptakan alat pencacah bonggol jagung sebagai bentuk kontribusi kepada masyarakat.

Dalam pelaksanaan program ini, tim Abmas ITS ini dibantu dua alumni yang kini menjadi dosen di Universitas Qomaruddin, Gresik. Selain itu, kegiatan ini melibatkan sepuluh mahasiswa ITS yang berdomisili di Gresik, sebagai mahasiswa KKN ITS.

Mesin pencacah yang dirancang oleh Wiwiek beserta tim tersebut memiliki tiga tingkatan kekasaran, yakni kasar, sedang, dan halus. Tingkat kekasaran ini bergantung pada produk apa yang akan dihasilkan.

Sebagai contoh, pencacahan untuk bahan pakan ternak dibutuhkan hasil yang kekasarannya sedang hingga halus agar bisa dikonsumsi oleh hewan ternak. Mesin pencacah ini juga memiliki kegunaan tambahan yaitu bisa dimanfaatkan untuk menghaluskan ranting dan rumput. Ranting lunak dan rerumputan biasanya juga digunakan warga Desa Bolo sebagai pakan ternak.

“Sehingga mesin pencacah ini bisa juga dimanfaatkan untuk mencacah keduanya dengan tingkat kekasaran tertentu,” jelas kepala Laboratorium Rekayasa Vibrasi dan Sistem Otomotif ini.

Mesin pencacah bonggol jagung ini sudah rampung dan sudah diujicobakan di Desa Bolo. Berdasarkan uji cobanya, mesin ini mampu menghaluskan delapan karung bonggol jagung per jamnya atau setara dengan 120 kilogram. Mesin ini juga sudah diserahkan kepada pihak Desa Bolo melalui kepala Ddesa pada 3 September 2020 lalu dan disambut dengan baik oleh semua pihak terkait di desa tersebut.

Wiwiek berharap bahwa kegiatan ini bisa dilanjutkan pada Abmas dan KKN tahun depan untuk melanjutkan potensi pengembangan pembuatan briket.

“Karena periode ini kami sudah menyelesaikan mesin pencacahnya, kami harap untuk skema pembuatan dan pemasaran briket bisa dikembangkan di periode berikutnya agar dapat menumbuhkan ekonomi warga Desa Bolo,” pungkasnya.(dan)

Related posts

Mengenal Ikan Buntal yang Menewaskan Tiga Warga Banyuwangi

neodemokrasi

Perda Pesantren Berpotensi Dongkrak Peningkatan IPM Signifikan Bagi Jatim..

neodemokrasi

Strategi Pengembangan UMKM di Indonesia sebagai Penggerak Ekonomi di Tengah Pandemi Covid

neodemokrasi