Sektor usaha informal yang disebut juga usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di Indonesia telah sekian lama menjadi bidang yang berkontribusi cukup besar bagi pertumbuhan ekonomi. Masyarakat sering salah kaprah dalam menginterpretasikan UMKM. Pandangan miring bahwa UMKM tidak akan bertahan lama karena keterbatasan modal cukup sering terdengar.
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008, UMKM adalah usaha produktif dan berdiri sendiri serta bukan merupakan cabang atau anak dari perusahaan induk. Oleh karena itu, kemandirian UMKM sangat bisa diandalkan.
Menurut data di tahun 2016, UMKM mampu menyerap 89 persen total tenaga kerja. Hal itu cukup beralasan mengingat, UMKM didominasi oleh industri rumahan yang padat karya. Sebagai industri yang padat karya, kehadiran UMKM merupakan oase bagi masyarakat yang membutuhkan lapangan kerja demi nafkah kehidupannya.
Pendirian UMKM cukup mudah karena tidak membutuhkan modal yang terlalu besar. Justru kreativitas pemilik merupakan syarat utama keberhasilan. Keterbatasan akses terhadap modal, menjadi motivasi terbesar pelaku UMKM untuk bisa terus berkreasi mempertahankan usahanya tanpa tergerus zaman.
Kemandirian UMKM yang tidak bergantung pada siapapun, membuat industri ini cenderung resisten terhadap berbagai macam krisis, seperti yang pernah menimpa Indonesia di tahun 1998 dan 2008. Saat itu, nilai mata uang rupiah cukup anjlok terhadap mata uang asing.
Bagi UMKM yang relatif tidak tergantung pada industri ekspor impor, krisis ini sama sekali tidak berpengaruh terhadap jalannya usaha. Meski banyak usaha gulung tikar saat itu, UMKM tetap bertahan dengan stabil.
Jika kemandirian UMKM menjadi kuda hitam yang membuat usaha masih tetap bisa terus berjalan di tengah krisis, tidak bisa dimungkiri bahwa keterbatasan akses modal masih merupakan pekerjaan rumah bersama.
Pemerintah dan swasta melalui berbagai program bantuan sering menawarkan akses modal bagi UMKM yang tersebar di seluruh Indonesia. Namun, tidak semua UMKM bisa memperolehnya. Hal ini lagi-lagi disebabkan oleh konsep tradisional yang masih banyak dianut oleh para pelaku.
Kalangan akademisi melalui berbagai program pengabdian masyarakat yang merupakan salah satu tridharma mutlak bagi perguruan tinggi membantu UMKM keluar dari perangkap tersebut. Tradisi merupakan buah simalakama yang di satu sisi bisa menjadi keunggulan atau ciri khas UMKM tertentu.
Apalagi di kawasan pedesaan dan produk UMKM yang berkonsep kedaerahan. Akan tetapi, di sisi lain, cara pembuatan produk, konsep berpikir, dan manajemen yang masih tradisional berbenturan dengan berbagai macam prasyarat pemerintah maupun pihak swasta untuk akses modal.
Perguruan tinggi melalui dosen-dosennya, sering kali mempunyai program pengabdian yang ditujukan untuk mengubah konsep tradisional yang membelenggu UMKM untuk terus berkembang.
Contoh yang banyak dilakukan adalah dengan menciptakan suatu alat pembuatan produk UMKM yang bisa dijalankan secara otomatis untuk menggantikan proses manual yang membutuhkan banyak biaya, waktu dan seringkali untuk produk makanan menyebabkan usia kadaluarsa produk menjadi pendek.
Selain itu, yang seringkali dilakukan adalah dengan memberikan pengetahuan laporan keuangan sederhana yang menjadi syarat utama bagi pihak pemerintah maupun swasta dalam pengajuan pinjaman lunak ataupun hibah modal.
Karena tanpa laporan keuangan yang informatif, pihak kreditur dari pemerintah dan swasta bisa mengetahui kredibilitas, posisi keuangan dan juga potensi keberlangsungan usaha. Pemasaran juga menjadi kendala bagi UMKM di daerah pedesaan.
Produk unggulan UMKM meski mempunyai potensi untuk mendunia dikarenakan tidak ada UMKM di belahan dunia lain yang memproduksinya, sering kali tidak banyak yang mengetahui. Melalui program pemasaran melalui media elektronik yang bisa diakses secara global dan dibantu pembuatannya oleh dosen perguruan tinggi. Seluruh dunia pada akhirnya diharapkan bisa menjadi sasaran pasar produk UMKM tersebut.
Keterbatasan pengetahuan akan regulasi pajak juga menjadi momok yang membatasi UMKM untuk berkembang. Ketidaktahuan akan peraturan perpajakan seringkali menyebabkan UMKM menjadi rentan untuk gulung tikar.
Sebelum tahun 2020, program pengabdian masyarakat dilakukan dengan banyaknya visitasi lapangan. Diharapkan dengan tingginya frekuensi lapangan, dosen akan bisa lebih memahami dan berkomunikasi dengan para pelaku UMKM, sehingga pencapaian program yaitu pemberdayaan UMKM dengan mengatasi kendala-kendala yang terjadi bisa lebih mudah dilakukan.
Namun, pandemi membatasi kondisi tersebut. Pembatasan interaksi orang per orang dan juga kerumunan yang biasa dilakukan saat tahap sosialisasi maupun pelatihan, merupakan hal yang menyulitkan. Para dosen dituntut untuk memutar otaknya memikirkan strategi dan solusi yang bisa diterapkan untuk menyiasati kondisi ini.
Proses interaksi dan komunikasi secara daring pun akhirnya dilakukan. Penggunaan media komunikasi berupa aplikasi pertemuan dan media perpesanan daring dimaksimalkan. Tentunya hal ini tidak mudah. Banyak pelaku UMKM yang masih belum mempunyai telepon selular ataupun komputer yang menjadi alat komunikasi daring. Selain itu, faktor sinyal dan juga keterbatasan biaya dalam membeli paket data yang merupakan fasilitas utama juga menajdi kendala.
Di masa pandemi ini, omszet pelaku UMKM juga menurun drastis. Media pemasaran tradisional yang banyak dilakukan, yaitu melalui mulut ke mulut di kondisi sekarang menjadi suatu hal yang mustahil untuk dilakukan.
Dukungan pemerintah melalui kerja sama dengan pihak penyedia komunikasi dalam penyediaan kuota gratis sangat dibutuhkan. Selain itu, pihak akademisi juga membutuhkan motivasi lebih dalam penyediaan sarana dan prasarana sosialisasi, pelatihan, dan komunikasi secara daring.
Penyediaan fasilitas komunikasi untuk pelaku UMKM yang misalnya berada dalam satu desa atau kampung, bisa digunakan secara bergantian, merupakan hal yang juga bisa dilakukan pemerintah maupun swasta.
Pihak perguruan tinggi juga bisa membuat berbagai macam video pendek yang menginformasikan pengetahuan yang bisa digunakan untuk mengatasi kendala pelaku UMKM. Oleh karena itu, pemerintah maupun pihak swasta juga bisa memberikan sarana dan prasarana dalam pembuatan media komunikasi secara interaktif.
Lagi pula media komunikasi secara interaktif diharapkan dapat menjadi salah satu contoh yang bisa digunakan sebagai acuan untuk membuat media pemasaran UMKM secara interaktif pula. Penurunan omzet yang terjadi selama masa pandemi akan bisa teratasi dengan hal ini.
Sudah banyak contoh UMKM yang bisa mengembangkan usahanya dari media sosial, website yang cukup informatif dan interaktif, maupun pemasaran melalui media elektronik lainnya. Selain itu, efektivitas biaya karena tidak harus menggaji tenaga pemasaran secara masif bisa dilakukan.
Banyak hal yang memang menjadi kendala selama masa pandemi ini. Namun hal ini sama halnya dengan kemandirian UMKM. Jika kemandirian UMKM yang pada umumnya hanya bergantung pada pemilik dan lingkungan sekitarnya sendiri, maka kemandirian jugalah yang membuat pelaku UMKM bisa resisten terhadap permasalahan global selama krisis moneter.
Jika pandemi ini menyebabkan omzet UMKM menurun karena keterbatasan interaksi antar manusia, maka kretivitas pelaku UMKM harusnya bisa lebih meningkat. Karena pada dasarnya UMKM adalah tentang kreativitas. Hanya UMKM yang berkreasi dan berinovasi mampu untuk mengatasi perubahan jaman. Masa pandemi ini tidak lebih hanya dinamika usaha.
Pengusaha UMKM dituntut untuk mampu menyiasatinya. Namun kali ini, perumusan strategi tidaklah dilakukan sendiri. Sinergitas antara pemerintah, swasta dalam penyediaan sarana dan prasarana serta akademisi yang tidak kalah penting untuk memberikan akses pengetahuan dalam peningkatan usaha dan efektifitas dan efisiensi biaya merupakan hal yang sangat diharapkan dalam masa sekarang ini. Tanpa sinergi, semuanya mustahil.
UMKM di bidang pariwisata merupakan sektor yang paling terdampak di masa pandemi ini. Di Jakarta, para pelaku usaha bersama kalangan akademisi membuat semacam tur virtual. Dengan menawarkan pemandangan dan situasi kota tertentu di luar negeri ataupun luar kota, para konsumen setelah membayarkan sejumlah uang registrasi, bisa menikmati lanskap indah pegunungan Alpen di Swiss ataupun reruntuhan kota Inca di Amerika dan juga gagahnya piramid di Mesir.
Ini merupakan suatu cara yang bisa dilakukan untuk tetap bisa mendapatkan omzet usaha di tengah menurunnya ekonomi di masa pandemi. Benar tidak sebanyak kondisi normal. Namun untuk tetap mempertahankan gaji beberapa orang cara ini bisa dilakukan.
Selain itu, beberapa pelaku UMKM penginapan kecil bekerja sama dengan pemerintah menyediakan isolasi mandiri bagi para pasien Covid-19. Tentunya hal ini juga dengan disertai penerapan protokol kesehatan yang disosialisasikan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat di perguruan tinggi.
Bagi UMKM makanan dan minuman, penyediaan katering oleh pemerintah Sidoarjo bagi warga yang melakukan isolasi mandiri adalah suatu bidang yang mungkin belum pernah terpikirkan sebelumnya.
Di Surabaya, tepatnya di daerah Putat Jaya, pelaku UMKM di bidang konveksi melayani permintaan masker kain tiga lapis oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di daerah Nusa Tenggara. Dengan ekspedisi yang dibantu oleh pihak Pos Indonesia, hal ini bisa terwujud.
Berbagai pihak memang terdampak oleh pandemi ini tanpa terkecuali. Namun hanya diam dan meratapi nasib lalu membiarkan kondisi ini menggerus kondisi perekonomian negara bukan perkara yang bisa dilakukan saat ini.
Tiap pihak harus saling bahu-membahu membentuk sinergi yang bukan hanya memberdayakan UMKM membantu pemerintah menggerakkan perekonomian atau bahkan memotivasi akademisi untuk melakukan Tri Dharma Perguruan Tinggi, namun melakukan semuanya secara bersamaan.
Bukan tidak mungkin hal ini akan menciptakan mekanisme baru yang tidak hanya membantu salah satu pihak saja. Namun bisa menggerakkan semuanya sekaligus. Lagi pula ini adalah pekerjaan rumah bersama.(*)