Setiap liburan panjang jalur Pantura mulai dari Situbondo hingga Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi macet hingga ber jam-jam. Bahkan pada musim liburan Idul Adha bulan April 2023 lalu, kemacetan hingga berhari-hari. Pelabuhan Ketapang overload. Kendaraan multijenis harus antre sampai 11 jam sebelum menyeberang ke Gilimanuk, Bali.
Sebanyak 48 kapal penyeberangan yang disiapkan ASDP kewalahan menyeberangkan ribuan kendaraan dan penumpang ke Gilimanuk. Walaupun kapal yang ada sudah melakukan 224 trip per hari dengan lama perjalanan kurang lebih 1 jam.
Jika dicermati sejak dioperasikannya jalan Tol Probolinggo tahap dua awal tahun ini, kepadatan arus lalu lintas Situbondo-Banyuwangi semakin meningkat. Jarak Merak-Probolinggo semakin dekat. Artinya, perjalanan dari Merak menggunakan koridor Trans Jawa semakin cepat.
Jarak tempuh Merak-Probolinggo yang sebelumnya ditempuh lebih dari 20 jam, dengan beroperasinya Tol Probolinggo Timur hanya ditempuh 12 jam. Dampaknya penumpukan kendaraan terjadi antara Situbondo-Banyuwangi yang belum dilalui tol. Kemacetan lebih parah hingga 25 kilometer menjelang Pelabuhan Ketapang seperti yang terjadi pada musim liburan lalu.
Kita tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika Tol Road dari Merak tuntas hingga Banyuwangi tahun depan. Perjalanan hampir 800 kilometer tersebut hanya akan ditempuh dalam waktu 15 jam. Masalahnya, jika sarana dan prasarana di Pelabuhan Ketapang tidak dibenahi serta tidak dicarikan solusinya, diperkirakan kemacetan terjadi di dalam ruas tol.
Pertama, penambahan jumlah kapal diyakini tidak akan mengatasi masalah. Kecuali kapasitas kapal feri dan khusus Landing Craft Tank (LCT) 1000 DWT yang dizinkan dioperasikan sebagai kapal penumpang, hanya mampu mengangkut 96 penumpang, 12 truk, dan 8 mobil.
Minimal, kapal yang layak dioperasikan untuk mengatasi bottle neck di Pelabuhan Ketapang dengan menambah kapasitas kapal yang selama ini rata rata 1000 DWT, diganti dengan ukuran kapal yang lebih besar, yaitu 2000 DWT. Kedua, Pelabuhan Ketapang harus dikonstruksi ulang untuk bersandar kapal kapal besar dan daya tampung di area parkir lebih luas dan nyaman. Tetapi tidak membuat jembatan di Selat Bali, karena akan membunuh usaha jasa penyeberangan. Sama artinya dengan mengusung darat ke laut serta menyingkikan kearifan bangsa Bahari.
Untuk kondisi darurat mengurai kemacetan jalur Situbondo-Banyuwangi, empat pelabuhan di Situbondo, yakni Pelabuhan Jangkar milik Pemkab Situbondo, Pelabuhan Kalbut, Tanjung Kamal, dan Panarukan milik Kementerian Perhubungan yang idle capacity bisa dioperasikan.
Tidak semua penyeberang Ketapang-Gilimanuk tujuan ke Pulau Bali. Banyak pula di antaranya yang mengambil tujuan akhir di Pulau Lombok. Pelabuhan Jangkar dan tiga pelabuhan lainnya dapat difungsikan untuk dijadikan sarana ke Bali dan Lombok dengan tujuan Gilimanuk dan Pelabuhan Lembar. Dua kapal feri yang diopeasikan dari Pelabuhan Jangkar sudah dioperasikan oleh Pemkab Situbondo.
Hal yang perlu dilakukan untuk kelancaran menuju Jangkar adalah peningkatan infrastruktur jalan dari jalan raya Pantura Jawa-Bali ke Pelabuhan Jangkar, Kecamatan Jangkar. Infrastruktur jalan menuju Pelabuhan Jangkar perlu dilakukan pelebaran jalan atau ditingkatkan kelas jalannya untuk akses kendaraan truk berukuran besar maupun kendaraan berat lainnya yang akan menyeberang ke Lembar maupun Gilimanuk.
Pelabuhan Jangkar selama ini melayani angkutan penyeberangan laut ke Pulau Raas, Pulau Sapudi, Pulau Kangean dan Kalianget, Kabupaten Sumenep, Madura.(*)
Oleh: Oki Lukito
Ketua Forum Masyarakat Kelautan, Maritim, Perikanan, dan anggota Dewan Pakar PWI Jawa Timur